Rabu, Juni 4

SeLingan Niyh, WajiB diBaCA Lohhh

Gaji papa berapa?
Seperti biasa Andrew, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka
di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya,
Sarah, putra pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu
untuknya. Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.
"Kok, belum tidur ?" sapa Andrew sambil mencium anaknya.
Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika
ia akan berangkat ke kantor pagi hari.
Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Sarah menjawab, "Aku
nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?"
"Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?"
"Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Sarah singkat.
"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam
dan dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja.
Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa
dalam satu bulan berapa, hayo ?"
Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar sementara
Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Andrew beranjak
menuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlari mengikutinya. "Kalo
satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa
digaji Rp.
40.000,- dong" katanya.
"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur" perintah Andrew
Tetapi Sarah tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian,
Sarah kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?"
"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam
begini ? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah".
"Tapi Papa..."
Kesabaran Andrew pun habis. "Papa bilang tidur !" hardiknya mengejutkan
Sarah. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Andrew nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Sarah di
kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Sarah didapati sedang
terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Andrew berkata,
"Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sarah. Tapi buat apa sih minta uang
malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp.
5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Andrew
"Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau
sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini".
"lya, iya, tapi buat apa ?" tanya Andrew lembut.
"Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga
puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga.
Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp.
15.000,- tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka
setengah jam aku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp.
5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Sarah polos.
Andrew pun terdiam. ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu
erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan
harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "membeli" kebahagiaan
anaknya.
ANAK YANG MENCORET MOBIL AYAHNYA
ANAK YANG MENCORET MOBIL AYAHNYA
Sepasang suami isteri - seperti pasangan lain di kota-kota besar
meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal
pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia
di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di
dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli
ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai
tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari
marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru
ayahnya. Ya... karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak
jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan
kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari
macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke
sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya,gambarnya sendiri,
lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian
itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil
yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya.
Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan
siapa ini !!!" .... Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu
berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan
lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras
kepadanya, dia terus mengatakan ' Saya tidak tahu..tuan." "Kamu dirumah
sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?" hardik si isteri lagi.
Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari
kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "DIta yg membuat gambar itu
ayahhh.. cantik ...kan!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja
seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang
ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya
berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa apa
menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak
tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.
Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas
dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu rumah terbengong, tdk tahu hrs
berbuat apa... Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian
ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu,
pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.
Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil
luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil
menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga
menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air. Lalu si
pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak
itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si
anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. "Oleskan obat saja!"
jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang
menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran
pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya
sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu
rumah. "Dita demam, Bu"...jawab pembantunya ringkas. "Kasih minum panadol
aja ," jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar
pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia
menutup lagi pintu kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah
memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. "Sore nanti
kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00 sudah siap" kata majikannya itu. Sampai
saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar
ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa
hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada
pilihan.." kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak
itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut..."Ini
sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus
dipotong dari siku ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan
terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti
berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata
isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan
pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan
habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua
tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian
ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua
menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air
mata. "Ayah.. ibu... Dita tidak akan melakukannya lagi.... Dita tak mau
lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi... Dita sayang ayah..sayang
ibu.", katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa
sedihnya. "Dita juga sayang Mbok Narti.." katanya memandang wajah pembantu
rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.

"Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan
mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?...Bagaimana
Dita mau bermain nanti?... Dita janji tdk akan mencoret2 mobil lagi, "
katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata
anaknya. Meraung2 dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada
manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak
cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum
mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf...

Tahun demi tahun kedua orang tua tsb menahan kepedihan dan kehancuran
bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan
wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi...,Namun...., si Anak
dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tsb tetap hidup tegar bahkan
sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya..


Mandikan aku Bunda!!
Di bawah ini adalah salah satu contoh tragis.
Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya
Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang Dan
memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap Dan konsep dirinya
sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang
akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang
mantan presiden Amerika. Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi
Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda,
Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan
kedokteran.
Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama
berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat,
bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan
mereka.
Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif''
Dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak
sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama
Dan terakhir.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani
semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap Hari IA terbang dari satu kotake
kotalain, Dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah
bertanya, ''Tidakkah is Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal?'' Dengan
sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya.
Everything is OK!'' Ucapannya itu betul-betul IA buktikan. Perawatan Dan
perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter Mahal. Rani
tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang
tampak lincah, cerdas Dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu,
tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar Dan nama besar, tentang naik
pesawat terbang, Dan uang yang banyak. ''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau
Alif besar nanti.''
Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang
tidurnya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut
dengan permintaan tak terduga itu, Rani Dan suaminya kembali menagih
pengertian anaknya.
Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik
buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya,
kata
Rani, IA tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter
ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, IA
jarang sekali
ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan
penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.
Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super
sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.
Suatu Hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak
dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap.
Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia
menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan Dan mempersiapkan
keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan
Tante Mien, baby sitter-nya.
Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!'' kian
lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani Dan suaminya berpikir, mungkin itu
karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta
perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu
dokter, Alif demam Dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah
terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya
rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia
shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah
memandikan putranya.
Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk
suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh is kecil terbaring
kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah
jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya,
berusaha menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri
mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu,
berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di
seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?'' Saya diam
saja.
Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung
seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi
sebuah pilihan,'' lanjut
Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak.Angin senja meniupkan
aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu
hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih
tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri
kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih
mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di
atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja
pun makin tua. Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang
amat sangat.
Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya
sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang disayanginya. Akan masih
ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu.
Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang
yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena
mereka menyayanginya dan tetap akan ada.
Pelajaran yang sangat menyedihkan.
Semoga yang membacanya bisa mengambil makna yang terkandung dalam kisah tsb.

Tidak ada komentar: